Rumah Relawan Remaja Konsisten Perkuat Literasi dan Pendidikan Alternatif di Aceh
Banda Aceh, Ditjen Diksi PKPLK — Rumah Relawan Remaja (3R) terus memperkuat literasi dan pendidikan alternatif di Aceh. Ketua 3R, Rahmiana Rahman, menyebutkan bahwa 3R lahir dari gagasan suaminya. Lembaga sosial yang berdiri sejak 2013 ini bukan hanya sekadar komunitas dengan berbagai program sosial, tetapi juga sebuah konsep hidup sederhana dalam komunitas yang diaplikasikan sehari-hari. Tujuan dihadirkan ruang ini adalah untuk menciptakan relawan dunia yang bisa belajar ke arah kehidupan yang adil dan damai.
Sejak tahun 2018, 3R mulai menjalankan program Pustaka Kampung Impian di desa-desa terpencil. Salah satunya di Aceh Selatan, yang hanya bisa ditempuh dengan perjalanan darat lebih dari 10 jam dari Banda Aceh, lalu dua jam menyusuri Sungai Kluet. Program ini menghadirkan relawan untuk memfasilitasi kelas membaca, membangun perpustakaan, dan belajar bersama anak-anak.
“Bukan perjalanan yang mudah, tetapi selalu ada cerita menarik dan pelajaran berharga dari para relawan,” kata Rahmiana.
Selain itu, 3R juga melaksanakan program tanggap darurat bencana dan konflik, Peace Camp, Peace School, Peace Library, Community Sharing, hingga 3R Extra-Class. Untuk kemandirian, mereka juga mengembangkan 3R Social Enterprise melalui kebun organik dan kerajinan tangan, termasuk program Hanbok for Books yang menyewakan pakaian tradisional Korea untuk membeli buku. Mulai Juni 2024, 3R juga mendirikan sekolah alternatif untuk anak-anak komunitas, serta membuka Beasiswa Impian bagi anak-anak kurang mampu.
Menurut Rahmiana, kegiatan 3R kini sudah meluas dan tersebar di enam titik lokasi di Aceh Besar, Aceh Selatan, Aceh Tengah, dan Aceh Tamiang. Setiap desa melibatkan 30–50 peserta.
“Kami memang tidak menambah jumlah lokasi. Fokus kami adalah pada konsistensi dan keberlanjutan program,” ujar Rahmiana.
Ia mengatakan bahwa dampak dari program-program yang dihadirkan oleh 3R tidak hanya dirasakan masyarakat desa, tetapi juga para relawan. Aspek materi memang tidak pernah menjadi pembahasan utama, tapi mereka menekankan pada aspek yang lebih penting terkait belajar pengalaman hidup bersama: makan bersama, berbagi jadwal domestik, hingga mengelola sampah rumah tangga secara kolektif.
“Kesederhanaan adalah nilai utama yang kami berikan pada relawan yang terlibat. Mereka kami rekrut melalui seleksi, terutama untuk program jangka panjang seperti Pustaka Kampung Impian, agar kesinambungan belajar anak tetap terjaga. Hingga kini, tercatat sekitar 300 relawan desa yang telah terlibat, ditambah 28 kali pelaksanaan Peace Camp, serta delapan staf penuh waktu yang mengelola program,” terangnya.
Rahmiana mengakui ada sejumlah tantangan besar dalam menjalankan visi dan misi 3R. Salah satunya menjaga semangat tim inti, mengingat relawan banyak yang datang dan pergi dalam durasi singkat.
“Yang kami jaga adalah semangat tim inti. Kami saling mengingatkan, misalnya dengan jalan-jalan atau camping, supaya energi tetap terjaga,” katanya.
Tantangan lain adalah kondisi keamanan dan akses menuju lokasi program, yang kerap harus ditempuh dengan menyeberangi sungai atau laut. Di sisi lain, keterbatasan pendanaan juga menjadi ujian tersendiri.
“Untuk fundraising memang tidak mudah, tapi kami mencari jalan dengan berbagai cara agar program tetap berjalan,” tambahnya.
Dengan model komunitas yang menekankan keberlanjutan, empati, serta dukungan dari jaringan mitra, 3R kini menjadi ruang belajar alternatif sekaligus ruang tumbuh bagi relawan muda. Komunitas ini membuktikan bahwa gerakan literasi dan pendidikan bisa terus hidup meski berawal dari ruang sederhana. (Esha/NA)